
Mengenal Hydatidiform Mole atau Hamil Anggur
Hydatidiform mole (HM) atau secara awam dikenal dengan hamil anggur merupakan salah satu bentuk gestational trophoblastic disease (GTD) yang ditandai dengan proliferasi abnormal trofoblas serta pembentukan vili korionik edematous. HM diklasifikasikan menjadi Complete Hydatidiform Mole (CHM) dan Partial Hydatidiform Mole (PHM), yang masing-masing memiliki karakteristik genetik dan klinis yang berbeda. CHM umumnya memiliki genotipe diploid androgenetik (46, XX atau 46, XY), sedangkan PHM sering kali bersifat triploid (69, XXX; 69, XXY; 69, XYY) hal ini biasa diakibatkan oleh fertilisasi yang abnormal. Mayoritas kasus CHM, terjadi melalui mekanisme endoreduplication (enucleated sel telur difertilisasi oleh sperma normal) dan dispermia (enucleated oocyte difertilisasi oleh dua sel sperma normal, atau oleh sperma diploid) yang menyebabkan triploid zygote [2]. Sedangkan pada kasus PHM, mekanismenya melalui proses dispermia maupun kekurangan pembelahan sel pada tahap kedua meiosis [1].
Abnormalitas kromosom yang mendasari HM, seperti Uniparental Disomy (UPD), triploidi, dan mosaikisme, memiliki peran penting dalam patogenesis penyakit ini serta berbagai komplikasi yang menyertainya, termasuk gangguan perkembangan plasenta, kelainan janin, dan peningkatan risiko kanker seperti choriocarcinoma. Pada CHM, keberadaan UPD androgenetik menyebabkan hiperproliferasi trofoblas yang dapat berujung pada gestational trophoblastic neoplasia (GTN), termasuk choriocarcinoma. Sementara itu, PHM yang bersifat triploid sering dikaitkan dengan insufisiensi plasenta dan gangguan organogenesis, yang dapat menghambat perkembangan janin atau menyebabkan keguguran. Selain itu, mosaikisme dalam PHM dapat menghasilkan kombinasi sel normal dan abnormal yang berkontribusi terhadap kelainan struktural janin, sedangkan tetraploidi umumnya bersifat letal dan menyebabkan kegagalan embriogenesis.
Perkembangan dalam bidang genetika dan biologi molekuler telah memungkinkan karakterisasi yang lebih baik terhadap mekanisme genetik HM serta dampaknya terhadap prognosis pasien. Teknik diagnostik seperti karyotyping, fluorescence in situ hybridization (FISH), SNP array, dan Next-Generation Sequencing (NGS) semakin meningkatkan akurasi dalam mendeteksi kelainan kromosom yang berperan dalam HM. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan antara HM dan kelainan kromosom menjadi penting dalam upaya deteksi dini, manajemen klinis yang lebih efektif, serta pencegahan komplikasi lebih lanjut.
Hamil Anggur: Kelainan Kromosom Kompleks
Gestational trophoblastic disease (GTD) yang biasanya ditemui adalah HM, bentuk utama dari GTD yaitu Complete Hydatidiform Mole (CHM) dan Partial Hydatidiform Mole (PHM). Kelainan ini menyebabkan gangguan pada perkembangan trofoblastik.

Gambar 1. Mekanisme terjadinya Complete Hydatidiform Mole (CHM) dan Partial Hydatidiform Mole (PHM). CHM berkembang karena terjadinya proses fertilisasi oleh monosperma (A) maupun oleh dua sperma atau Dispermia (B) yang mana juga terjadi kerusakan ataupun hancurnya kromosom ibu (maternal). Perkembangan PHM terjadi karena sel telur dibuahi oleh dua sel sperma, sehingga zygote berkembang dengan tiga set kromosom di dalamnya (Triploid) (C). Pada kasus langka (D), zigot memiliki kromosom diploid dari kedua orang tua, namun juga terjadi mutasi pada gen NLRP7 atau KHDC3L yang mengakibatkan terjadinya diploid biparental CHM [1]
Uniparental Disomy (UPD): Kelainan Kromosom Penyebab Hamil Anggur Lengkap
Kondisi CHM disebabkan oleh kelainan kromosom berupa uniparental disomy (UPD) androgenetik, yang menyebabkan hilangnya ekspresi gen maternal yang esensial dalam regulasi perkembangan trofoblas. CHM terbentuk melalui dua mekanisme utama (Gambar 1 (A) dan 1 (B)), yaitu fertilisasi ovum kosong oleh satu sperma yang kemudian mengalami endoreplikasi (monospermia) atau fertilisasi oleh dua sperma tanpa duplikasi kromosom (dispermia). Akibat dari proses ini, zigot yang dihasilkan memiliki genotipe diploid androgenetik (46,XX atau 46,XY), dengan 46,XX sebagai kariotipe yang paling umum karena lebih stabil secara mitosis dibandingkan dengan 46,XY [1].
Implikasi dari UPD androgenetik pada CHM adalah proliferasi trofoblastik berlebihan serta degenerasi hidropik menyeluruh pada vili korionik, yang secara histologis ditandai dengan pembesaran vili dan ketiadaan pembuluh darah yang matang. Gangguan vaskularisasi ini terjadi akibat kegagalan diferensiasi sel trofoblas dalam membentuk struktur plasenta yang fungsional, sehingga menyebabkan akumulasi cairan dan edema berat pada jaringan vili. Berbeda dengan mola parsial, CHM tidak memiliki jaringan janin, karena kromosom maternal yang diperlukan untuk perkembangan embrio tidak ada. Oleh karena itu, CHM secara klinis dapat dideteksi melalui peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (hCG) yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan normal atau PHM.
Selain gangguan perkembangan trofoblas dan plasenta, CHM memiliki risiko tinggi berkembang menjadi gestational trophoblastic neoplasia (GTN), termasuk choriocarcinoma, dengan persentase 15-20% [7]. Risiko ini berkaitan dengan sifat invasif dari trofoblas yang mengalami hiperproliferasi, yang dalam beberapa kasus dapat menyebar ke organ lain seperti paru-paru, hati, dan otak. Proliferasi agresif ini disebabkan oleh dominasi kromosom paternal, yang diketahui berperan dalam regulasi pertumbuhan trofoblas, sementara tidak adanya ekspresi maternal menghilangkan mekanisme penghambatan yang diperlukan untuk perkembangan normal kehamilan [2].
Triploidi: Kelainan Kromosom Penyebab Hamil Anggur Parsial
Partial Hydatidiform Mole (PHM) merupakan bentuk kelainan kehamilan yang terjadi akibat fertilisasi abnormal yang menghasilkan genotipe triploid (69,XXX; 69,XXY; 69,XYY). Kelainan kromosom utama yang menyebabkan PHM adalah triploidi, di mana terdapat satu set kromosom maternal dan dua set kromosom paternal. PHM umumnya terjadi melalui mekanisme dispermia (Gambar 1 (C)), yaitu fertilisasi satu ovum haploid oleh dua sperma secara simultan. Mekanisme lain yang lebih jarang adalah fertilisasi oleh satu sperma yang mengalami endoreplikasi, di mana setelah fertilisasi, kromosom paternal mengalami duplikasi sehingga membentuk kariotipe triploid. Tidak seperti CHM, yang sepenuhnya berasal dari paternal akibat Uniparental Disomy (UPD) androgenetik, PHM tetap memiliki kontribusi genetik maternal, yang memungkinkan terbentuknya jaringan janin yang berkembang secara tidak sempurna [2].
Implikasi dari triploidi pada PHM adalah perkembangan janin yang tidak normal, dengan gangguan pertumbuhan intrauterin (IUGR) dan anomali struktural, seperti mikrosefali, sindrom triploid, dan kelainan kongenital lainnya. Selain itu, vili korionik mengalami degenerasi hidropik parsial, dengan proliferasi trofoblas yang lebih ringan dibandingkan CHM. Berbeda dengan CHM yang menunjukkan degenerasi hidropik menyeluruh dan proliferasi trofoblas difus, PHM masih memiliki area vili yang sebagian normal, meskipun perkembangan plasenta tetap terganggu. Akibat kelainan kromosom ini, plasenta PHM mengalami insufisiensi vaskularisasi, yang sering menyebabkan insufisiensi plasenta dan keguguran spontan pada trimester pertama atau kedua [2].
Dibandingkan dengan CHM, PHM memiliki risiko lebih rendah berkembang menjadi gestational trophoblastic neoplasia (GTN), yaitu sekitar 0,1–5% [3]. Hal ini disebabkan oleh adanya kontribusi kromosom maternal, yang tampaknya memberikan perlindungan terhadap proliferasi trofoblas yang tidak terkendali. Namun, pada beberapa kasus, PHM tetap dapat mengalami transformasi menjadi mola invasif, meskipun dengan kemungkinan lebih kecil dibandingkan CHM [3].
Mosaikisme Dalam Hamil Anggur
Mosaikisme dalam HM mengacu pada keberadaan dua populasi sel dengan komposisi genetik yang berbeda dalam satu jaringan mola, yaitu sel dengan genotipe androgenetik dan sel dengan genotipe biparental. Studi menunjukkan bahwa sebagian besar diploid biparental Hydatidiform Mole (DiBiparHM) sebenarnya bersifat mosaik, yang terdiri dari campuran sel dengan kontribusi kromosom dari kedua orang tua dan sel yang hanya memiliki kromosom paternal [4]. Mosaikisme dalam HM terjadi akibat abnormalitas postzigotik, di mana setelah fertilisasi, pemisahan atau duplikasi kromosom menghasilkan dua populasi sel yang berbeda. Mekanisme utama yang mendasari hal ini meliputi duplikasi pronukleus paternal, pembelahan sitokinesis yang asimetris, dan diploidisasi pasca zigot pada embrio triploid. Dalam beberapa kasus, terjadi eliminasi kromosom maternal atau paternal secara selektif, yang mengarah pada terbentuknya campuran antara populasi sel androgenetik dan biparental dalam jaringan mola [8].
Mosaikisme ini dapat ditemukan baik pada CHM maupun PHM, meskipun lebih sering terjadi pada PHM. Dalam CHM, mosaikisme dapat terjadi pada kasus yang sebelumnya dikategorikan sebagai CHM diploid biparental, yang setelah dianalisis lebih lanjut ternyata memiliki dua populasi sel yang berkembang secara bersamaan. Adanya mosaikisme dalam HM memiliki implikasi yang signifikan, baik dalam diagnosis, prognosis, maupun risiko perkembangan menjadi gestational trophoblastic neoplasia (GTN) [8]. Secara klinis, HM dengan mosaikisme dapat menyulitkan diagnosis, karena karakteristik morfologi dan kariotipe yang lebih kompleks dibandingkan dengan HM yang sepenuhnya androgenetik. Pada studi Niemann, et al (2007) menunjukkan bahwa keberadaan sel androgenetik dalam HM mosaik tetap dapat meningkatkan kemungkinan perkembangan menjadi persistent trophoblastic disease (PTD), meskipun dengan frekuensi lebih rendah dibandingkan CHM yang sepenuhnya androgenetik [6].
PGT-A: Solusi Pemeriksaan Untuk Menghindari Hamil Anggur
Wanita yang pernah mengalami keguguran dan wanita yang memiliki riwayat hamil anggur, memiliki peluang lebih besar mengalami hamil anggur pada kehamilan berikutnya. Hal ini disebabkan hamil anggur juga dipengaruhi oleh kelainan sel kelamin dari pasangan.
Maka dari itu, disarankan bagi pasangan yang sudah pernah mengalami keguguran berulang dan riwayat hamil anggur untuk melakukan program In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung di kehamilan berikutnya. Program bayi tabung ini sangat bermanfaat bagi pasangan yang ingin memiliki kehamilan dan keturunan yang sehat serta bebas kelainan kromosom.
Teknologi IVF atau bayi tabung akan menghasilkan embrio dari proses fertilisasi bantuan, di mana embrio yang telah dihasilkan tersebut dapat dipilih yang terbaik sebelum ditransfer ke dalam rahim wanita. Pemilihan embrio yang baik ini ditujukan untuk memilih embrio yang sehat tanpa ada kelainan kromosom Uniparental Disomy (UPD) atau Triploidi yang merupakan penyebab hamil anggur, seperti dijelaskan di atas.
Pemilihan embrio ini menggunakan teknologi pemeriksaan Pre-Implantation Genetic Testing Aneuploidy (PGT-A) untuk seleksi embrio yang sehat, memiliki kromosom yang normal, dan tanpa adanya kelainan UPD atau triplodi.
NALEYA PGT-A merupakan pengujian PGT-A yang komprehensif dan akurat untuk mengidentifikasi berbagai jenis kelainan kromosom pada embrio sebelum ditransfer ke dalam rahim wanita, untuk meningkatkan tingkat kesuksesan bayi tabung dan agar menghindari hamil anggur. Dengan pemeriksaan NALEYA PGT-A yang lengkap ini, pasangan yang menjalani program bayi tabung dapat menerima ketenangan dan pencegahan sejak dini.
Ditulis oleh: NAJAMULIA SAYYIDINA
Ditinjau oleh: PANJI KUSTIAWAN
Referensi
[1] Candelier, Jean, Jacques. 2016. The hydatidiform mole. Cell Adhesion & Migration. 10(1): 226-235
[2] Florea, A.; Caba, L.; Grigore, A.-M.; Antoci, L.-M.; Grigore, M.; Gramescu, M.I.; Gorduza, E.V. 2023. Hydatidiform Mole—Between Chromosomal Abnormality, Uniparental Disomy and Monogenic Variants: A Narrative Review. Life 2023, 13, 2314.
[3] Joyce, C.M.; Fitzgerald, B.; McCarthy, T.V.; Coulter, J.; O’Donoghue, K. Advances in the diagnosis and early management of gestational trophoblastic disease. BMJ Med. 2022
[4] Makrydimas G, Sebire NJ, Thornton SE. 2006. Complete hydatidiform mole and normal live birth: a novel case of confined placental mosaicism: case report. Hum Reprod . 17: 2459–2463.
[5[ Niemann I, Bolund L, Sunde L. 2008. Twin pregnancies with diploid hydatidiform mole and co-existing normal fetus may originate from one oocyte. Hum Reprod; 23:2031-5
[6] Niemann I, Hansen ES, Sunde L. 2007. The risk of persistent trophoblastic disease after hydatidiform mole classified by morphology and ploidy. Gynecol Oncol. 104: 411–415
[7] Seckl, M.J.; Sebire, N.J.; Berkowitz, R.S. Gestational trophoblastic disease. Lancet 2010, 376, 717–729.
[8] Sunde, L., Niemann L., Hansen, E, S., Hindkjaer, J., Birte Degn., Jensen, U, B., and Bolund, L. 2011. Mosaics and Mole. European Journal of Human Genetics. 19(1): 1026–1031